Waktu merupakan nikmat dari Allah –subhanahu wa ta’ala- yang
teragung di antara nikmat-nikmat-Nya kepada para hamba. Allah –subhanahu wa
ta’ala- bersumpah dengan berbagai waktu: Ashar, malam dan siang, Fajar,
serta Dhuha untuk menekankan tentang pentingnya waktu. Dalam kehidupan seorang
Muslim, waktu merupakan karunia yang tak terbeli. Harta yang lebih berharga
daripada sekedar intan permata, serta modal bagi kehidupan dunia akhirat.
Mengoptimalkan waktu dengan ketaatan serta amal yang menuai kemanfaatan untuk
kehidupan dunia dan akhirat berarti keberuntungan dan keselamatan. Sebaliknya,
menyia-nyiakan waktu dengan membiarkannya berlalu begitu saja tanpa makna,
berarti kesengsaraan dan kebinasaan.
Wahai saudaraku yang saya cintai karena Allah, bila kita
membuka lembar-lembar perjalanan hidup salafush-shalih dan pengikut mereka,
niscaya akan mendapatinya sebagai kaum yang bakhil terhadap waktu. Dalam arti,
tidak membiarkan sedetik pun dari waktu mereka berlalu begitu saja tanpa amal
shalih. Mereka begitu mengerti akan nilai dan betapa berharganya dari karunia
yang banyak dilalaikan oleh kebanyakan manusia sejak dahulu sampai sekarang.
Hingga mereka menjaga waktu melebihi penjagaannya terhadap harta.
Imam Ibnul Qayyim –rohimahullah- mengungkapkan:
“Keberuntungan terbesar bagimu, yaitu engkau menyibukkan dirimu setiap saat
dengan sesuatu yang lebih utama dan lebih bermanfaat untuk kehidupan akhirat
nanti. Bagaimana bisa disebut berakal, seseorang yang menjual Surga dengan
segala kenikmatan yang ada di dalamnya dengan kenikmatan sesaat? Menyia-nyiakan
waktu lebih berbahaya daripada maut, karena menyia-nyiakan waktu memisahkanmu
dari Allah –subhanahu wa ta’ala- dan negeri akhirat, sedangkan maut
hanya memisahkanmu dari dunia dan penghuninya.” (Al-Fawaid: 46)
Waktu terlalu berharga untuk disia-siakan dengan
kemaksiatan. Betapa waktu begitu bernilai untuk dihabiskan dengan senda gurau.
As-Sunnah yang mulia menunjukkan pentingnya masalah
waktu. Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, yang artinya:
“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ditanya empat
perkara: tentang umurnya dihabiskan untuk apa, tentang masa mudanya diisi
dengan apa, tentang hartanya dari mana diperoleh dan dibelanjakan untuk apa,
serta mengenai ilmunya apa yang telah diperbuat padanya” (HR At-Tirmidzi:
9/253, dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah)
Seorang hamba ditanya pada Hari Kiamat dua hal mengenai
waktu, yaitu umurnya secara umum dan masa mudanya secara khusus.
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah
mengingatkan tentang pentingnya memanfaatkan waktu sebagaimana disebutkan dalam
sabdanya, yang artinya: “Dua macam kenikmatan yang kebanyakan manusia tertipu
pada keduanya, (yaitu) kesehatan dan waktu luang” (HR Al-Bukhari 5933)
Hadits yang mulia ini menyampaikan, bahwa waktu luang
adalah nikmat yang besar dari Allah –subhanahu wa ta’ala- , namun banyak manusia tertipu sehingga
mendapatkan kerugian. Di antara bentuk kerugiannya adalah:
Pertama, tidak mengisi
waktu luang dengan bentuk yang paling sempurna. Seperti menyibukkannya dengan
amalan yang urang utama, padahal bisa mengisinya dengan amalan yang lebih
utama.
Kedua, tidak mengisi
waktu luangnya dengan amalan-amalan yang utama yang memiliki manfaat bagi agama
dan dunianya. Namun disibukkan dengan perkara-perkara mubah yang tidak
berpahala.
Ketiga, mengisinya
dengan perkara yang haram. Ini adalah orang yang paling tertipu dan rugi,
karena menyia-nyiakan kesempatan untuk memanfaatkan waktu dengan hal-hal yang
bermanfaat. Tidak hanya itu, bahkan akan menggiringnya kepada hukuman Allah di
dunia dan akhirat.
Kesehatan dan waktu itu
merupakan dua nikmat yang agung. Kebanyakan manusia tidak mengambil faedah dari
keduanya dan menyia-nyiakannya kemudian menyesali pada saat tidak bermanfaat
lagi penyesalan.
PENTINGNYA WAKTU
Hendaknya menempatkan setiap detik dari waktu itu dalam
bingkai ketaatan kepada Allah –subhanahu wa ta’ala-. Bukankah kita
diciptakan untuk satu perkara yang besar? Allah –subhanahu wa ta’ala-
berfirman yang artinya:
“Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS.
Adz-Dzariyat 56)
Dalam ayat ini, Allah –subhanahu wa ta’ala-
menuntut dua perkara dari kita. Pertama, beribadah kepada Allah –subhanahu
wa ta’ala- dengan cara yang sesuai dengan syariat-Nya. Kedua, tidak
menyerahkan ibadah itu kepada selain Allah –subhanahu wa ta’ala-.
Artinya, seorang Mukmin harus menjadi hamba Allah –subhanahu
wa ta’ala- selama hayatnya. Statusnya sebagai hanba Allah –subhanahu wa
ta’ala- ini tidak boleh lepas darinya walaupun hanya sesaat. Itulah tujuan
kita diciptakan. Satu hari Allah –subhanahu wa ta’ala- memberi 24 jam
kepada kita. Itulah waktu yang harus kita pergunakan dengan sebaik-baiknya agar
menjadi hamba Allah yang sejati yang merupakan status dan gelar tertinggi
seorang insan.
Sesungguhnya hidup adalah kumpulan hari-hari. Mestinya
kita berpindah dari satu bentuk ibadah kepada bentuk ibadah lainnya. Allah –subhanahu
wa ta’ala- berfirman yang artinya:
“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Rabb-mu
lah kamu berharap.” (QS. Al-Insyirah
7-8)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin –rohimahullah- menjelaskan,
“Apabila engkau telah selesai mengerjakan suatu tugas, maka bersiap-siaplah
untuk mengerjakan tugas yang lainnya, janganlah menyia-nyiakan kesempatan.
Karena itu, kehidupan orang yang berakal adalah kehidupan yang penuh semangat.
Setiap kali selesai mengerjakan satu tugas, ia bersiap untuk menjalankan tugas
yang lain. Karena, waktu akan terus berlalu baik kita dalam keadaan terjaga
maupun tidur, sibuk maupun luang. Waktu terus berjalan tanpa ada seorangpun
yang mampu untuk menahannya. Seandainya semua manusia bersatu-padu untuk
menahan matahari supaya waktu siang bertambah panjang, niscaya mereka tidak
akan bisa melakukannya. Jika engkau selesai mengerjakan urusan dunia, hendaklah
melanjutkannya dengan mengerjakan urusan akhirat. Sebaliknya jika engkau
selesai mengerjakan urusan akhirat, lanjutkanlah dengan urusan dunia. Apabila
engkau telah selesai mengerjakan Shalat Jum’at, bertebaranlah di muka bumi dan
carilah karunia Allah –subhanahu wa ta’ala-. Shalat Jum’at diapit oleh
dua urusan dunia (QS Al-Jumu’ah 9-10).
Waktu istirahatmu untuk mengembalikan gairah kerja
termasuk pekerjaan dan amalan. Pekerjaan dan amalan itu tidak harus bergerak.
Apabila engkau selesai mengerjakan tugas-tugas kemudian diikuti dengan
pekerjaan lainnya, maka berharaplah kepada Allah –subhanahu wa ta’ala-
agar mendapatkan pahala. Tetaplah memohon pertolongan kepada Allah, sebelum dan
sesudah beramal. Sebelum beramal, mintalah pertolongan kepada Allah –subhanahu
wa ta’ala-. Dan, setelah beramal, berharaplah pahala dari Allah –subhanahu
wa ta’ala-.” (Tafsir Juz ‘Amma, Ibnu ‘Utsaimin).
Di antara hal-hal yang menunjukkan pentingnya waktu
adalah:
1. Waktu adalah Modal
Imam Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Wahai Ibnu Adam (manusia), engkau
hanyalah (kumpulan) hari-hari, tiap-tiap satu hari berlalu, hilang sebagian
dirimu.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’).
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz –rahimahullah- menyampaikan: “Sesungguhnya
malam dan siang bekerja terhadapmu, maka beramallah pada malam dan siang itu”
(Rabi’ul Abrar: 305)
2. Waktu sangat cepat berlalu.
Imam Ahmad bin Hambal –rahimahullah- mengatakan: “Aku tidak
menyerupakan masa muda kecuali dengan sesuatu yang menempel di lengan bajuku,
lalu jatuh.”
Abul Walid Al-Baji –rahimahullah- berkata: “Jika aku telah
mengetahui dengan sangat yakin, bahwa seluruh hidupku di dunia ini seperti satu
jam di akhirat, maka mengapa aku tidak bakhil dengan waktu hidupku (untuk
melakukan hal yang sia-sia) dan kujadikan hidupku hanya dalam kebaikan dan
ketaatan.”
3. Waktu yang berlalu tidak pernah kembali
Mujahid –rahimahullah- berkata: “Tidak ada satu hari pun yang
berlalu, melainkan hari itu akan berkata, “Wahai anak cucu Adam, pada hari ini
aku telah datang padamu dan tidak akan kembali lagi kepadamu setelah hari ini”
(Riwayat Ibnu Abid Dun-ya)
4. Manusia tidak mengetahui kapan berakhirnya waktu yang diberikan untuknya.
Karena itu, Allah –subhanahu wa ta’ala- banyak memerintahkan untuk
bersegera dan berlomba dalam ketaatan. Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
juga memerintahkan agar bersegera untuk melaksanakan amal-amal shalih.
Nabi ‘Isa –‘alaihis-salam- pernah besabda, yang
artinya, “Beramallah kalian pada malam hari sesuai dengan tujuan malam itu
diciptakan, dan beramallah kalian pada siang hari sesuai dengan siang itu
diciptakan.” (Riwayat Malik bin Dinar)
Para ulama telah memperingatkan agar seseorang tidak
menunda-nunda amal. Imam Al-Hasan Al-Bashri mengatakan: “ Wahai anak Adam,
janganlah engkau menunda-nunda (amalan-amalan), karena engkau memiliki
kesempatan pada hari ini. Adapun besok pagi, belum tentu engkau memilikinya.
Jika engkau bertemu besok hari, maka lakukanlah pada besok hari itu sebagaimana
yang engkau lakukan pada hari ini. Jika engkau tidak bertemu besok hari, engkau
tidak akan menyesali sikapmu yang menyia-nyiakan hari ini” (Taqrib Zuhd: 1/28)
Waktu terus berjalan, usia kita terus bertambah.
Pertanyaannya adalah, sudahkah kita mengisi waktu dengan sebaik-baiknya.
Sungguh merugi, orang yang tidak mengisi hari-harinya untuk menjadi hamba Allah
–subhanahu wa ta’ala- yang sejati. Manusia seperti ini bagaikan mayat
hidup yang berjalan, mati sebelum waktunya. Hidupnya tidak bermakna sama
sekali.
Jika kita benar-benar mengerti tujuan hidup dan memahami
nilai waktu, maka seharusnya kita mengisi waktu dengan perkara yang akan
menjadikan ridha Penguasa kita, Allah –subhanahu wa ta’ala-. Semoga
Allah –subhanahu wa ta’ala- selalu membimbing kita di atas jalan yang
lurus yang berujung di depan pintu gerbang Surga. Aamiin.
Wallahu a’lam
bish-showab.
Walhamdu lillaahi Robbil
‘aalamiin.
- Hifni Nashif Umar Chottob
Sumber Rujukan:
- Lathaiful Ma’arif: Al-Hafizh Ibnu Rajab
- Tuhfatul Wa’iz: Syaikh Dr Ahmad Farid
- Majalah As-Sunnah