Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menjadikan peredaran
masa dengan rahmat. Dijadikan-Nya siang dan malam silih berganti yang
masing-masing memiliki tanda-tanda yang berbeda. Tanda-tanda siang adalah
matahari sehingga menjadi terang-benderang agar mereka bisa mendapatkan
sebagian dari karunia-Nya dan mencari penghidupan di dalamnya. Tanda-tanda
malam ialah bulan dan diselimuti kegelapan agar manusia merasakan ketenangan di
dalamnya.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- juga telah menjadikan silih bergantinya bulan dan tahun dengan penuh hikmah. Menjadi lahan bagi setiap manusia melakukan kebaikan maupun keburukan. Hal itu terus dan terus terjadi sampai berakhirnya ajal mereka.
Wahai Saudaraku, perhatikanlah tahun-tahun yang
telah berlalu. Bila tahun yang lalu telah usai, maka tahun baru pun
menyusulnya. Bila memasuki tahun baru, kita menatap akhir tahun sangat jauh di
ujung sana, namun ternyata hari-hari berlalu dengan sangat cepatnya. Tahun pun
akan segera bergulir dengan cepatnya bagai kedipan mata. Tanpa disadari,
ternyata kita telah berada pada hari-hari di penghujung tahun tertentu.
Waktu-waktu itu tidaklah berlalu, melainkan sebagai
jenjang-jenjang yang telah kita lalui menuju kampung yang sesungguhnya yaitu
kampung akhirat. Sampai suatu saat nanti perjalanan kita akan berakhir di sana.
Setiap hari yang telah kita lalui, sesungguhnya
makin menjauhkan kita dari dunia dan mendekatkan kita ke akhirat. Berbahagialah
orang yang sanggup memanfaatkan kesempatannya dengan mendekatkan kepada Dzat
Yang Maha Perkasa -Subhanahu wa Ta’ala-. Berbahagialah hamba yang tersibukkan
dengan ketaatan dan menghindar dari setiap kemaksiatan.
Pada pergantian tahun ini, kita merasa panjang
umur, namun tidak disadari kita telah berada di depan pintu gerbang kematian.
Boleh jadi seseorang berangan-angan dengan usianya yang panjang, sehingga ia
bersantai-santai dengan angan-angan dan cita-citanya itu. Namun, tiba-tiba ia
telah berada di ujung tali angan-angan, sedangkan bangunan cita-citanya telah
runtuk. Sebabnya adalah kematian. Allah –subhanahu wa ta’ala- berfirman:
وَجَاءتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ
“Dan datanglah sakaratul
maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.“ (QS. Qaaf 19)
Kita telah berada di tahun baru. Tahun yang lalu
telah menjadi saksi atas kita. Apakah yang telah kita tinggalkan pada tahun
lalu?
Hendaknya kita segera melakukan introspeksi diri. Dengan
memperhatikan apa yang telah ditinggalkan pada tahun lalu. Bila telah
menyia-nyiakan beberapa kewajiban terhadap Allah -Subhanahu wa Ta’ala-, bersegeralah
bertaubat kepada-Nya, dengan segera berusaha mengejar dan mendapatkan sesuatu
yang telah tersia-siakan. Bila teryata menzhalimi diri sendiri dengan berbagai
maksiat dan hal-hal yang haram, bersegera untuk meninggalkan sebelum saatnya
malaikat maut datang menjemput. Bila termasuk orang-orang yang dianugerahi
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- istiqomah, hendaknya banyak memuji-Nya atas
karunia-Nya dan memohon keteguhan sampai akhir menutup mata.
Tahun yang lalu tidak sekedar sebagai kenangan
belaka. Tahun baru bukan untuk disambut dengan perayaan. Namun dengan melewati
tahun yang lalu mengingatkan apa yang telah kita tinggalkan, sedangkan tahun
baru disambut dengan iman, taubat dan istighfar serta istiqomah di atas jalan
keridhaan Allah -Subhanahu wa Ta’ala-.
Iman bukanlah hanya sekedar angan-angan kosong dan
pemanis bibir. Taubat pun bukan sekedar ucapan lisan tanpa usaha untuk
membersihkan diri. Iman itu merupakan sesuatu yang tertanam di dalam hati dan
dibuktikan dengan amalan. Sedangkan, taubat adalah penyesalan terhadap berbagai
kekurangan yang telah berlalu dengan segera menjauhi dan meninggalkan
dosa-dosa. Taubat ialah kembali kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dengan usaha
untuk memperbaiki amalan. Taubat ialah senantiasa diawasi oleh Allah -Subhanahu
wa Ta’ala- Dzat Yang Maha Mengetahui seluruh yang ghaib. Selagi masih ada waktu
dan terbentang kesempatan, maka apalagi yang menghalangi untuk segera
bertaubat?
BERTAMBAHNYA UMUR DENGAN KEBAIKAN
Tidaklah bertambah umur seorang Mukmin kecuali itu
bernilai kebaikan bagi dirinya. Di antara kebahagiaannya adalah dipanjangkan
umurnya dan Allah -Subhanahu wa Ta’ala- memberinya karunia untuk bertaubat
kepada-Nya dari dosa-dosa yang telah lalu serta bersungguh-sungguh dalam
beramal shalih. Bila ia mengharapkan kematian, berarti mengharap terputusnya
amal shalih baginya. Tentunya hal ini tidak diperbolehkan.
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
bersabda, yang artinya: “Janganlah seseorang dari kalian itu mengharapkan
kematian, kalau dia orang yang baik, barangkali (kehidupan) dapat menambah
kebaikannya, kalau dia orang yang jahat, barangkali (kehidupan) dapat digunakan
untuk bertaubat.” (HR. Al-Bukhari: 5673)
Shahabat yang mulia, Abu Hurairah –radhiyallahu
‘anhu- meriwayatkan, bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, yang
artinya: “Janganlah salah seorang dari kalian mengharapkan kematian, dan
janganlah memintanya sebelum waktunya, sesungguhnya jika salah seorang dari
kalian mati, maka terputuslah amalnya, dan tidaklah bertambah umur seorang Mukmin,
kecuali bertambah kebaikan baginya” (HR. Muslim: 2682).
Maimun bin Mahran –rahimahullah- mengatakan (yang artinya),
“Tiada kebaikan dalam hidup, kecuali bagi orang yang bertaubat atau orang yang
mencari derajat di sisi Allah -Subhanahu wa Ta’ala-.” (Lathaiful Ma’arif).
Al-Hafizh Ibnu Rajab –rahimahullah- menjelaskan, “Maksudnya orang yang bertaubat, masa dosa-dosa pada masa lalunya telah diampuni, sedangkan orang yang bersungguh-sungguh dalam beribadah akan bekerja keras untuk meraih derajat yang tinggi di sisi Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Adapun selain keduanya, maka mereka akan merugi. Dalam QS Al-‘Ashr 1-3 Allah -Subhanahu wa Ta’ala- bersumpah, bahwa setiap manusia merugi, kecuali yang memiliki empat kriteria, yaitu iman, amal shalih, saling menasehati untuk kebenaran, dan saling menasehati untuk kesabaran dalam berpegang pada kebenaran. Surat ini merupakan tolak ukur bagi seorang Mukmin untuk mengukur dirinya sehingga tampaklah untung ruginya.” (Lathaiful Ma’arif).
Al-Hafizh Ibnu Rajab –rahimahullah- menjelaskan, “Maksudnya orang yang bertaubat, masa dosa-dosa pada masa lalunya telah diampuni, sedangkan orang yang bersungguh-sungguh dalam beribadah akan bekerja keras untuk meraih derajat yang tinggi di sisi Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Adapun selain keduanya, maka mereka akan merugi. Dalam QS Al-‘Ashr 1-3 Allah -Subhanahu wa Ta’ala- bersumpah, bahwa setiap manusia merugi, kecuali yang memiliki empat kriteria, yaitu iman, amal shalih, saling menasehati untuk kebenaran, dan saling menasehati untuk kesabaran dalam berpegang pada kebenaran. Surat ini merupakan tolak ukur bagi seorang Mukmin untuk mengukur dirinya sehingga tampaklah untung ruginya.” (Lathaiful Ma’arif).
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
bersabda, yang artinya, “Tidak seorang pun yang lebih baik di sisi Allah –‘Azza
wa Jalla- daripada seorang Mukmin yang diberi umur panjang dalam Islam untuk
bertasbih, bertakbir dan bertahlil” (HR. Ahmad: 1/163, dinyatakan hasan
lighairihi oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Al-Musnad: 3/22).
Dikatakan kepada seorang ulama salafush shalih,
“Alangkah baiknya kematian.” Lalu dia berkata, “Janganlah mengatakan demikian,
karena satu jam dalam kehidupan yang kamu gunakan untuk beristighfar kepada
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- lebih baik bagimu daripada engkau mati saat ini”.
Karena itu kaum salafush shalih menyayangkan saat
kematiannya disebabkan amalannya terputus bersamaan dengan dicabutnya ruh.
Shahabat yang mulia, Mu’adz bin Jabal –radhiyallahu ‘anhu- menangis pada saat
maut hendak menjemputnya sampai berkata, “Aku menangis atas kehausan di kala
berpuasa, sholat malam pada musim dingin, dan berlomba dengan ulama dalam
bepergian untuk mencari majelis dzikir.”
Salah seorang ulama salaf mengatakan, “Sisa umur bagi seorang Mukmin tidak akan ada harganya jika tidak dapat menghapus dosanya yang telah lalu dengan bertaubat dan bersungguh-sungguh dalam beramal shalih. Sedangkan orang-orang yang menyia-nyiakan umurnya, maka dia itu merugi. Jika dosanya bertambah seiring dengan bertambahnya hari-hari, itulah kerugian yang nyata. Amalan itu tergantung penutupnya. Barangsiapa yang memperbaiki sisa-sisa harinya, maka diampunilah apa yang telah berlalu darinya. Barangsiapa yang berbuat keburukan pada sisa-sisa harinya, maka ia akan menanggung dosa yang telah lalu dan akan datang.”
Salah seorang ulama salaf mengatakan, “Sisa umur bagi seorang Mukmin tidak akan ada harganya jika tidak dapat menghapus dosanya yang telah lalu dengan bertaubat dan bersungguh-sungguh dalam beramal shalih. Sedangkan orang-orang yang menyia-nyiakan umurnya, maka dia itu merugi. Jika dosanya bertambah seiring dengan bertambahnya hari-hari, itulah kerugian yang nyata. Amalan itu tergantung penutupnya. Barangsiapa yang memperbaiki sisa-sisa harinya, maka diampunilah apa yang telah berlalu darinya. Barangsiapa yang berbuat keburukan pada sisa-sisa harinya, maka ia akan menanggung dosa yang telah lalu dan akan datang.”
Umur merupakan nikmat dari Allah -Subhanahu wa
Ta’ala-. Barangsiapa yang mensyukurinya dengan ketaatan kepada Allah -Subhanahu
wa Ta’ala- serta menginfakkannya di jalan Allah -Subhanahu wa Ta’ala-, maka
para Malaikat akan berkata kepadanya pada Hari Kiamat, “Masuklah ke dalam Surga
karena apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. An-Nahl 32).
Imam Al-Hasan Al-Bashri –rahimahullah-
menjelaskan, “Sebaik-baik kehidupan di dunia ini, yaitu bagi seorang Mukmin,
karena dia sedikit beramal di dalamnya, lalu mengambil bekalnya menuju Surga.
Seburuk-buruk kehidupan di dunia ini adalah hidupnya orang kafir dan munafik,
karena menyia-nyiakan dan mengambil bekalnya menuju Neraka.” (Tuhfatul Wa’izh).
Berbagai potensi kebaikan telah dikaruniakan Allah
-Subhanahu wa Ta’ala- kepada kita. Masa muda, keadaan sehat wal afiat, hidup
berkecukupan, terbentangnya waktu dan kesempatan, serta masa-masa dalam
kehidupan adalah sebesar-besar potensi kebaikan.
Pada masa muda terdapat kekuatan dan keteguhan.
Bila telah lanjut usia, melemahlah kekuatannya dan lunturlah keteguhannya.
Dalam kesehatan terkandung semangat dan kerajinan. Bila dirundung sakit,
menurunlah semangatnya dan mengendurlah kerajinannya, sehingga beratlah rasanya
untuk beraktifitas dan beramal. Dalam kecukupan, ada kelonggaran. Jika ditimpa
kemiskinan, akan disibukkan dengan mencari penghidupan. Dalam kehidupan
terdapat kelapangan yang sangat luas untuk melakukan seluruh amal shalih.
Apabila telah mati, terputuslah kesempatannya untuk beramal shalih. Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- menasehati kita dengan sabdanya:
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ
قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ
فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Mengaislah kebaikan pada lima keadaan sebelum datang lima keadaan: pada masa mudamu sebelum masa tuamu, pada masa sehatmu sebelum datang sakitmu, pada masa cukupmu sebelum datang kefakiranmu, pada waktu luangmu sebelum datang kesibukanmu, dan pada masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Hakim 7846, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib no. 3355).
Hendaknya kita memperhatikan umur serta
menimbang-nimbang antara yang tersisa dan yang telah berlalu. Sesungguhnya yang
akan datang itu sangat cepat kehadirannya, sedangkan yang telah berlalu, kita
tak sanggup lagi untuk menggapainya. Sementara, apa yang ada kini mungkin saja
dan pasti akan sirna dalam sesaat atau dua saat pada waktu yang tak tertentu.
Yang demikian itu, agar kita bersegera dalam beramal shalih sebelum sesuatu
yang ada sekarang ini akan sirna dan tak bersisa.
Wallahu a’lam bish showaab
Wal-hamdu lillaahi robbil ‘aalamiin
o
Hifni Nashif Umar Chottob
Sumber Rujukan:
-Lathaiful Ma’arif :
Al-Hafizh Ibnu Rajab
-Adh-Dhiya’ul Lami’ : Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
-Tuhfatul Wa’izh :
Syaikh Dr. Ahmad Farid