infaq

Anda dapat memberikan Donasi/Infaq (untuk penerbitan buletin ini) melalui: BRI Syariah a.n. Ahmad Sukhaemi no. rek. 1014442916

Jumat, 15 November 2013

SEPUTAR PUASA MUHARRAM



Kedudukan Bulan Muharram

      Sesungguhnya bulan Muharram adalah bulan yang mulia dan penuh berkah, ia adalah bulan pertama dalam kalender Hijriyah dan salah satu bulan dari Asyhurul Hurum (bulan-bulan mulia).

Allah berfirman, yang artinya: ”Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu,dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya; dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (QS. At-Taubah: 36)

      Dan dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, yang artinya: “Sesungguhnya zaman berputar sebagai mana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci), tiga bulan berurutan: Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar, antara Jumadi Tsani dan Sya’ban.” (HR. Al-Bukhari 2958)

      Dinamakan bulan haram karena ia adalah bulan yang mulia dan sangat dimuliakan.
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang artinya: “Maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu,...” (QS. At-Taubah: 36)

      Maksudnya adalah janganlah menganiaya diri (melakukan dosa-dosa) pada bulan-bulan tersebut, karena kemaksiatan pada bulan-bulan itu dosa-dosanya lebih besar dan lebih buruk.
      Qatadah rahimahullah berkata dalam menafsirkan firman Allah ini (yang artinya):”Sesungguhnya kezhaliman (kemaksiatan) pada bulan-bulan ini lebih besar dosa dan kesalahannya dibandingkan dengan kezhaliman di bulan-bulan selainnya, sekalipun kezhaliman kapanpun adalah sesuatu yang besar (dosanya). Akan tetapi Allah membesarkan urusan-Nya sesuai kehendak-Nya.”

Keutamaan Memperbanyak Berpuasa Sunnah Di Bulan Muharram

      Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya: ”Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah (bulan) Muharram.” (HR. Muslim no. 1982)

      Sabda beliau “bulan Allah” adalah bentuk penyandaran (penisbatan) kata bulan kepada lafazh Allah, dan itu adalah penyandaran dalam rangka pengagungan/pemuliaan (terhadap bulan tersebut). Al-Qari berkata:”Secara zhahir (makna yang nampak) adalah bahwa yang dimaksud adalah satu bulan Muharram penuh” (Maksudnya puasa Nabi)

      Akan tetapi telah valid dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau tidak pernah berpuasa satu bulan penuh selain di bulan Ramadhan. Maka hadits ini dibawa kepada makna anjuran untuk memperbanyak berpuasa pada bulan Muharram, bukan berpuasa di bulan Muharram satu bulan penuh.

Allah Mengistimewakan Waktu Dan Tempat Yang Dia Kehendaki

      Al-‘Izz bin ‘Abdussalam rahimahullah berkata, (yang artinya):”Pengunggulan tempat-tempat tertentu (dibandingkan dengan tempat lain) atau waktu-waktu tertentu (dibandingkan yang lainnya) ada dua macam:Yang Pertama adalah bersifat duniawi, seperti Allah mengunggulkan musim semi dibandingkan musim-muslim lainnya, seperti pengunggulan sebagian Negeri dibandingkan negeri-negeri yang lainnya dengan keberadaan macam bunga-bunga, buah-buahan dan cuaca yang baik yang sesuai dengan keinginan manusia. Yang Kedua bersifat diini (agama), ia kembali kepada Allah yang bersikap dermawan (murah) terhadap hamba-hamba-Nya dengan melipatgandakan pahala di dalamnya. Seperti pengunggulan puasa Ramadhan dibandingkan puasa pada bulan-bulan lain, puasa pada hari Asyuraa’, 10 Dzulhijjah(10 hari pertama dari bulan Dzulhijjah kecuali tanggal 10-ed), dan 6 hari di bulan Syawwal. Maka keutamaannya kembali kepada kebaikan Allah dan kemurahan-Nya kepada para hamba-hamba-Nya di dalamnya.” (Qawaaidul Ahkam: 1/38)

Hari Asyuraa’ Dalam Sejarah

      Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu 'anhuma- berkata (yang artinya): “Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tiba di Madinah beliau melihat orang-orang Yahudi melakukan puasa di hari ‘Asyuraa’. Lalu beliau shallallahu 'alaihi wasallam bertanya:“Hari apa ini?” Mereka (orang-orang Yahudi) menjawab:“Ini adalah hari baik, hari ini hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa 'alaihissalam berpuasa pada hari ini.” Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:“Maka aku lebih berhak mengikuti Musa dibandingkan kalian (kaum Yahudi).” Lalu beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan ummatnya untuk berpuasa (di hari itu)” (HR Al Bukhari)

      Sabda beliau «هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ» (ini hari yang baik) dalam riwayat imam Muslim rahimahullah disebutkan: ”Ini adalah hari yang agung, pada hari itu Allah menyelamatkan Musa 'alaihissalam dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya”

Sabda beliau: «فصامه موسى» (lalu Musa 'alaihissalam berpuasa (di hari itu)), imam Muslim rahimahullah menambahkan di dalam riwayatnya: ”Dalam rangka bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka kami juga berpuasa.”

Dalam riwayat imam Al-Bukhari rahimahullah disebutkan: ”Dan kami berpuasa (di hari itu) untuk memuliakannya.”

Sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam «وأمر بصيامه» (dan beliau memerintahkan untuk berpuasa), dalam riwayat imam Al-Bukhari rahimahullah disebutkan:

Lalu beliau shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada para Shahabatnya:”Kalian lebih berhak terhadap Musa dibandingkan mereka, maka berpuasalah.”

Dan puasa ‘Asyuraa’ sudah dikenal semenjak dahulu, sampai-sampai di zaman Jahiliyah sebelum diutusnya Nabi juga mengenalnya. Telah valid hal tersebut dari ucapan ’Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa dia berkata: ”Bahwasanya masyarakat Jahiliyyah dahulu terbiasa berpuasa di hari itu.”

      Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata (yang artinya):”Mungkin orang-orang Quraisy menyandarkan puasa tersebut kepada syari’at ummat yang telah lalu, seperti Ibrahim 'alaihissalam dan telah valid juga bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melakukan puasa pada hari itu di Mekah sebelum hijrah ke Madinah. Lalu ketika hijrah beliau mendapati orang-orang Yahudi merayakan hari tersebut. Maka beliau shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada mereka tentang sebab hal itu. Lalu mereka menjawab sebagaimana dalam hadits yang lalu. Dan beliau shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelisihi mereka di dalam menjadikannya sebagai hari raya sebagaimana dalam hadits Abu Musa radhiyallahu 'anhu: ”Dahulu hari ‘Asyuraa’ dijadikan hari raya oleh orang-orang Yahudi.” Dalam riwayat Muslim: ”Dahulu hari ‘Asyuraa’ diagungkan oleh orang-orang Yahudi, mereka menjadikannya hari raya.” Dan dalam riwayat lain: ”Dahulu orang-orang Khaibar (orang-orang Yahudi) menjadikannya hari raya, mereka mengenakan perhiasan pada wanita-wanita mereka. lalu, nabi shallallohu 'alaihi wasallam bersabda, oleh karena itu, hendaklah kalian berpuasa.”

Puasa ‘Asyuraa’ hukumnya sunnah, bukan wajib

      Puasa ‘Asyuraa’ hukumnya sunnah, bukan wajib sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (yang artinya): ”Sesungguhnya ‘Asyuraa’ adalah salah satu Ayyamillah (hari-hari Allah), maka barangsiapa yang mau silakan berpuasa dan barangsiapa yang mau meninggalkannya.”(HR. Muslim dan lainnya dari hadits Ibnu’Umar radhiyallahu'anhuma)

Puasa ‘Asyuraa’ menghapuskan dosa satu tahun

      Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam (yang artinya): ”Puasa hari ‘Asyuura saya memohon kepada Allah agar menjadikannya sebagai penebus (dosa) satu tahun sebelumnya.” (HR Muslim)

Namun apakah puasa ‘Asyuura menghapus dosa besar (al-Kabair) atau hanya dosa kecil saja?

Jawabnya: Bahwasanya shalat dan puasa Ramadhan yang lebih mulia dan lebih agung dari hari ‘Asyuura, namun demikian Nabi bersabda: “(antara) Sholat lima waktu (yang satu dengan berikutnya), Jumat dengan Jumat, Ramadhan dengan Ramadhan, sebagai penghapus dosa di antaranya jika dosa-dosa besar ditinggalkan“ (HR. Muslim dan at-Tirmidzi)

      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata (yang artinya): Dan penghapusan dosa yang dilakukan karena thaharah (bersuci), shalat, puasa Ramadhan, puasa ‘Arafah dan puasa ‘Asyuraa’ adalah untuk dosa-dosa kecil saja, dan demikian pula haji, karena shalat dan Ramadhan lebih mulia daripadanya.”( Fatawaa al-Kubra jilid 3 halaman 428 dan Al-Ikhtiyaaraat halaman 65)

      Imam Nawawi rahimahullah berkata (yang artinya):”Puasa hari ‘Arafah menghapus semua dosa-dosa kecil, dan maksudnya diampuni semua dosa-dosanya kecuali dosa-dosa besar. Adapun dosa besar maka dia membutuhkan taubat secara khusus.”

Disunnahkan puasa tanggal 9 Muharram dan 10 Muharram

      Dalilnya adalah Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dari Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu'anhuma (yang artinya): ”Seandainya aku masih hidup pada tahun mendatang, niscaya aku akan berpuasa tanggal sembilan.”(HR. Imam Muslim, jilid 2 halaman 798 no 1134 kitab Ash-Shiyam dan diriwayatkan pula oleh selainnya)

      Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari (4/245) ketika mengomentari hadits di atas (yang artinya): Apa yang beliau inginkan berupa puasa tanggal 9 (muharram) kemungkinan maknanya adalah tidak mencukupkan hanya puasa hari itu saja, akan tetapi beliau gabungkan dengan puasa tanggal 10, bisa jadi sebagai bentuk kehati-hatian, atau bisa jadi sebagai bentuk penyelisihan terhadap Yahudi dan ini pendapat yang lebih kuat. Dan ini yang diisyaratkan oleh sebagian riwayat Muslim yang lain.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sebagaimana dalam Fatawaa al-Kubra (2/259) berkata (yang artinya):”Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang bertasyabbuh (menyerupai-ed) Ahli Kitab dalam hadits-hadits yang banyak, seperti sabda beliau:’ Seandainya aku masih hidup pada tahun mendatang, niscaya aku akan berpuasa tanggal sembilan.’

      Dalam riwayat yang lain Ibnu ‘Abbas radhiyallahu'anhuma berkata (yang artinya): ”Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa Asyuraa’, dan memerintahkan Sahabat untuk berpuasa, mereka berkata:’Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nashrani’ Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:’Apabila kita berjumpa dengan tahun depan -Insya Allah- kita akan berpuasa di tanggal sembilan.’ Ibnu ‘Abbas berkata:’Maka tidak datang tahun depan hingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat.’”(HR.Muslim 1134, Abu Dawud 2/327 no hadits 2445, Ahmad 1/236 dll)

      Dan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu'anhuma berkata Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): ”Berpuasalah hari ‘Asyuraa’ (10 muharram), dan selisihilah orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya atau sesudahnya.”

      Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 1/241, Ibnu Khuzaimah 2095, al-Baihaqi 4/287. Ibnu ‘Ady rahimahumullah dalam al-Kamil 3/956 dari jalur riwayat Hasyim bin Basyir, dan masih ada beberapa jalur riwayat yang lain.

      Hadits ini dibawakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah secara marfu’ dan beliau mendiamkan hadits ini (tidak mengomentarinya-ed) dalam Talkhisul Habir, dan dibawakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah secara marfu’ juga dan beliau mendiamkan hadits ini (tidak mengomentarinya-ed) di kitab Zaadul Ma’ad. Akan tetapi asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam Nailul Authar (yang artinya): ”Riwayat Ahmad ini dha’if (lemah) dan munkar dari jalur Dawud bin ‘Ali dari bapaknya dari kakeknya, dan Ibnu Abi Laila meriwayatkannya dari Imam Ahmad.”Dan Syaikh al-Albani rahimahullah menguatkan pendapat tentang dha’ifnya riwayat tersebut, dan beliau menyebutkannya dalam kitab Dha’if al-Jami’ ash-Shaghir.

Akan tetapi telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu'anhuma secara mauquf ”Puasalah tanggal sembilan dan sepuluh (muharram), selisihilah orang Yahudi.” Dan sanadnya shahih. Ibnu Rajab rahimahullah dalam al-Lathaif halaman 108 menshohihkannya.

(Sumber: Disarikan oleh Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid di http://ar.islamway.com/article/176 dan oleh Hatim bin ‘Abdurrahman al-Faraidhi di http://www.saaid.net/mktarat/mohram/13.htm. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)